Thursday, January 8, 2015

MENDADAK EMAK-EMAK

 

Membaca judul entry kali ini mengingatkan saya dengan judul film layar lebar bergenre komedi yang berjudul serupa (tapi tak sama, pastinya). Tidak perlu saya sebutkan judulnya pasti sudah tahu lah ya..., apalagi theme song nya pernah booming banget ;p

...

Jadi ini cerita soal apa?

Sekuel film itu kah?

Ehmm..

Bukan. Ini semacam sebuah refleksi diri. Berawal dari sesuatu yang sepele, tetapi ternyata mampu menyadarkan saya tentang sesuatu yang bisa dibilang "esensial" dari seorang perempuan :).

...

Berawal di suatu siang yang hujan, cuaca mengundang malas, didukung dengan status saya yang pengangguran (tidak) banyak acara maka lengkaplah sudah... (ngg..entahlah..apanya yang "lengkap" .__.a). Yang jelas saat itu saya tengah dilanda kebosanan, dan pada akhirnya menjadikan tv sebagai pelarian (meskipun acara acara tv terkadang malah dapat memperparah rasa bosanmu itu).

...

Setelah gonta ganti channel , mulai dari berita siang, infotainment yang isinya cuma gosip, sinetron cengeng, film film dokumenter di natgeo, dan sebagainya, pada akhirnya saya berhenti pada suatu channel yang entah mengapa acaranya pada saat itu membuat saya tertarik dan penasaran.

Acara apa?

Sinetroonnn! Lebih tepatnya semacam FTV tapi ceritanya sinetron banget! jujur, saya orang yang sinis dengan sinetron sinetron di negeri ini. Alasannya? Tau sendirilah.. (kecuali anda penggemar sinetron). Entah mengapa. Mungkin karena dari kecil saya juga tidak pernah melihat sinetron dan ibu saya sendiri juga tidak suka nonton sinetron.

...

Ceritanya klise, seputar masalah percintaan tokoh utama yang diintervensi oleh keluarganya dengan alur dan ending yang sangat mudah di tebak! (pernah ada nggak sih, sinetron negeri ini yang plot nya rumit dan endingnya twist? Sepertinya tidak ;p).

Tapi entah mengapa, saya jadi terbawa dalam alur ceritanya. Mendadak jadi geregetan dengan tokoh antagonisnya, merasa iba dengan tokoh protagonisnya, dan tiba tiba excited dengan scene scene percintaan (yang sebenarnya picisan) antara tokoh utama dan lawan mainnya.

Membuat saya merasa jadi emak-emak yang suka liat sinetron =__="

...

Hmmm..

mungkin saya sudah kemakan omongan sendiri kali yah ;p

...

terlepas dari apakah saya kemakan omongan atau tidak, hal ini membuat saya jadi sedikit "tersentil". Memang begitulah  perempuan. Pada hakikatnya perempuan memang terlahir sebagai mahkluk yang lebih banyak menggunakan perasaannya, dan lebih emosional. Sekalipun seorang perempuan itu cuek, tomboy, ataupun perempuan yang dibilang sebagai perempuan "kuat" bahkan mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang "independent woman" sekalipun tidak bisa menghindar dari hakikat yang satu ini. Bahwa mereka terlahir sebagai mahkluk yang "halus" (tolong jangan berpikiran tentang mahkluk halus yang gaib apalagi "halus halus" lainnya ;3 ).

Bahwa suatu saat mereka juga akan kembali pada kodratnya sebagai seorang perempuan, salah satunya ya menjadi "emak-emak" yang tadi,

atau setidaknya akan ada satu saat, sekali dalam kehidupan mereka, akan muncul keinginan itu. Keinginan yang bisa dibilang "keinginan sejati" seorang perempuan.

Yah..

kecuali takdir berkata lain :).

...

Saya tidak bisa berbicara banyak tentang "bagaimana itu perempuan" dari kacamata psikologis apalagi filosofis. Saya sendiri bukan orang yang punya kapasitas di bidang itu, ini hanya sekedar opini pribadi yang saya bagikan, sebuah pemikiran (yang mungkin) absurd , terinspirasi dari hari hari menganggur saya ;).

 

ps : semoga tulisan ini tidak mengundang protes dari feminis-feminis di luar sana :)

Wednesday, December 24, 2014

TENTANG DESEMBER

 

Desember.

Saya punya cerita tersendiri tentang Bulan ke 12 dalam kalender,  bulan penutup satu tahun yang telah berjalan.

Desember itu dingin, desember itu kelabu, penuh mendung, hari hari nya kerap berhujan, bahkan bersalju di belahan bumi yang lain.

...

Sebelumnya, saya sangat menyukai Bulan Desember. Saya suka udara dinginnya yang menelusup ke balik sweater, saya suka berjalan jalan di bawah warna kelabu langit paginya, Saya suka romantis rinai gerimisnya, dan saya suka memandangi hujan derasnya dari jendela dengan khayalan yang menari dalam pikiran.

Itu dulu, sebelum bulan ini menyisakan sedikit trauma. Sedikit, tetapi cukup menyadarkan saya tentang sisi lain Desember.

...

Winter. Musim dingin.

Udara yang beku, sinar mentari yang hanya sesaat, langit kelabu yang suram, gelap yang lebih cepat datang dan membuat malam jadi lebih panjang..

..

Entah sejak kapan Desember menjadi bulan yang.. yahh..entah bagaimana menyebutnya. Bisa dibilang, penuh hikmah (yang tersembunyi), penuh kejutan (dalam arti positif dan juga negatif), bulan di mana suka duka di sini terasa sangat jelas, bulan di mana saya harus mengambil keputusan keputusan yang (mungkin) menentukan arah hidup saya selanjutnya.

Ibarat kopi, yang lama kelamaan ampasnya mengendap di dasar cangkir, rasa-rasanya semua hal selama 11 bulan sebelumnya menjadi terakumulasi, terkumpul di akhir tahun. Sedikit berat sebenarnya untuk menangani hal hal yang sudah terakumulasi seperti itu. Apalagi itu Hal hal yang absurd. abu-abu. ambigu. Setengah jelas, setengahnya lagi tak jelas. Membuat saya merasa terjebak dalam musim dingin yang panjang, beku dan gelap.

...

 

Keputusan apa? Hal hal apa? Suka duka dan peristiwa macam apa?

Ah, tak perlulah saya ceritakan secara detail. Entry sebelumnya sudah cukup menjadi clue (itupun kalau kalian membaca tulisan saya :p ).

...

Desember memang menyisakan sedikit trauma dan duka bagi saya. Tetapi duka selalu menyimpan kejutan setelahnya. Kejutan yang menyenangkan, pastinya. Hal itulah yang tidak membuat saya 100% membenci bulan ini. Hanya menambah perspektif mengenai Desember, di satu sisi dinginnya menyejukkan, di satu sisi dinginnya juga membekukan...

...

Bahwa suka dan duka itu berjalan bergantian, dan selalu bersisian...

...

 

Di balik salju yang dingin mengubur tanah, masih ada tunas tunas baru yang bersiap akan tumbuh, memekarkan bunga yang cantik di musim semi nanti.

...

...

bws, akhir tahun 2014

*mengenang desember tahun lalu

 

ps : Apakah Desember tahun depan masih menyimpan kejutan lagi? :)

Monday, May 26, 2014

DESIRES

 

"aku ingin begini...
aku ingin begitu...
ingin ini, ingin itu banyak sekali..."

Taruhan, deh! Pasti bacanya sambil nyanyi..;-)

***
meskipun hanya sekedar lagu anak-anak, tetapi baru-baru ini saya menyadari kalau lagu "legendaris" ini punya arti yang cukup dalam (ceilee..dalam...).
Bagi yang memaknai dan merenungi liriknya, maka lagu ini tidak lagi sekedar menjadi lagu anak-anak yang riang dan ringan, tetapi malah justru menjadi sebuah sindiran.
Iya kan? Ngaku aja,deh..
***
Manusia mana di dunia yang tidak punya keinginan sama sekali? Terutama yang sifatnya duniawi.
Misalnya nih ya, mungkin kalian punya keinginan-keinginan seperti di bawah ini;

Saya pengen punya pacar yang cakep, tinggi, putih kaya' artis korea. *eh
Saya pengen dapat beasiswa master di luar negeri, minimal aussie.
Saya pengen 
nanti kerja di tempat elit dan dapat posisi yang keren juga.
Saya pengen travelling tiap weekend, kalau bisa ke luar negeri.
Saya pengen itu...Saya pengen ini...begitu, begini...

Bagaimana dengan keinginan saya? Yaah..seandainya saya tuliskan satu-satu keinginan saya, mungkin sudah jadi setebal kamus besar bahasa Indonesia (isn't it too much?).
Yup. I  believe that every human born with a heaps of desire and dreams.Bedanya, ada yang berambisi ada yang tidak. Susah juga kalau sudah ada embel-embel ambisinya.

"Ambisi? Ah, nggak kok...biasa aja".
Yakin, biasa aja? Tapi kok galau?

Ketika saya mencoba bertanya pada diri sendiri, apakah itu ambisi atau bukan, seperti itulah jawabannya. Ngeles. Ngomong-Ngomong, susah lo jujur sama diri sendiri itu. Coba aja.
***

"Suffering comes mostly from desire, and not only from pain"
begitu kata salah seorang penulis favorit saya. Dan itu benar sekali. Pertama kali membacanya, rasanya "jleb"Nancep di hati.
Salah satu tanda bahwa keinginan-keinginan kita selama ini ternyata ambisi adalah, ketika kita merasakan bahwa itu menyiksa dan membuat kita merasa tidak tenang. Gelisah, khawatir, dan ketakutan kalau-kalau keinginan itu tidak akan terwujud. Semakin banyak keinginan, semakin besar pula rasa takut itu.
Percaya?
Saya sih percaya, karena sudah merasakan sendiri.
***
Nggak salah, kalau kita punya banyak keinginan. manusiawi. yang salah adalah ketika pada akhirnya keinginan-keinginan itu malah membebani dan menyiksa diri sendiri gara-gara si ambisi itu. Apalagi ketika pada akhirnya keinginan itu nantinya tidak terwujud. Percaya deh, keinginan dan impian yang ada embel-embel ambisi itu nyesek.
***
Pada akhirnya, lama-lama kita akan merasa lelah dengan semua keinginan itu. Dan ketika fase itu terjadi, kita akan mulai membuat "penawaran" dari apa yang selama ini kita inginkan ;

Saya pengen punya pacar yang cakep, tinggi, putih kaya' artis korea. X Ah, nggak perlu segitunya deh, yang penting orangnya baik.
Saya pengen dapat beasiswa master di luar negeri, minimal aussie. Univ lokal juga nggak apa deh, yang penting ilmunya.
Saya pengen nanti kerja di tempat elit dan dapat posisi yang keren juga. X Kerja di mana aja boleh, yang penting bisa hidup cukup dan mandiri.
Saya pengen travelling tiap weekend, kalau bisa ke luar negeri. X Yang penting tiap weekend bisa ngumpul sama keluarga udah cukup.

Sekalipun sudah ada penawaran seperti di atas tadi, tetap saja itu semua adalah keinginan. Keinginan yang sudah ditawar. Dan penawaran-penawaran seperti itu masih akan terus terjadi sampai pada akhirnya keinginan-keinginan itu mungkin sudah tidak kita inginkan lagi.

***
Ada saatnya kita berkata (atau mungkin bernyanyi);
"aku ingin begini, aku ingin begitu..."
Tetapi akan ada saatnya juga kita hanya akan berkata;
"Ah, begini saja sudah cukup"
***

Friday, January 24, 2014

Pintar; Antara Absurd dan Relatif

 

Apakah anda termasuk orang pintar? Merasa pintar? Atau dianggap pintar? Apa sih pintar itu? Bisakah anda memberitahu saya  definisi pintar yang benar-benar tepat? Karena sampai sekarang saya masih tidak mengerti pintar yang sesungguhnya seperti apa dan bagaimana. Apakah "orang pintar" itu memang benar benar pintar? Setahu saya orang pintar itu tahunya hanya klenik-klenik begitu. Iya toh? Einstein pintar? Mereka bilang einstein jenius. Dan katanya jenius beda dengan pintar. Benar begitu?

Seorang anak waktu sekolah dasar sering rangking 1 di kelas. Orang-orang bilang; "duh..pinter banget sih anak itu". Tapi waktu beranjak sekolah menengah sudah tidak pernah rangking 1. Boro-boro rangking, prestasinya malah menurun. Kemudian orang-orang bilang; "padahal dulu pinter loh...".

Jadi pintar itu sifatnya temporer ya?

Ada lagi, si A hasil test IQnya 120. kemudian orang-orang bilang; "wiih..IQnya tinggi ya..berarti dia pinter. Tapi kok nilai rapornya biasa biasa aja?"

Jadi pintar itu...Apa?

...

Seorang dosen pernah bertanya pada saya ketika ujian lisan sebuah mata kuliah;

"Kok gak bisa jawab? Kamu dulu waktu saya ajar termasuk pintar kan?"

Eh. Agak kaget juga ditanya seperti itu. Darimana beliau menilai saya pintar? Nama saya saja mungkin beliau tidak hafal. Nilai mata kuliah beliau saja saya selalu dapat c. Dan lagi, saya pernah ketahuan tidur di kelas pada salah satu mata kuliah beliau. Sekarang saya di kira pintar? Pasti beliau salah orang. Dan akhirnya, saya menjawab (dengan berlagak pilon) ;

"Eee...bukan Pak..saya nggak pinter kok.."

"Oh, jadi bukan termasuk pinter..." Balasnya.

Dan pembicaraan berakhir begitu saja. Awkward. Tapi lucu juga sih.

...

Itu dosen pertama, yang selama hampir 4 tahun masa kuliah saya (pada waktu itu) yang bilang saya pintar (meskipun mungkin si bapak salah orang). Terlepas dari beliau salah orang atau tidak, sebagai mahasiswa rata rata, yang tidak pernah menonjol baik di kelas apalagi organisasi (karena saya tidak ikut organisasi apa-apa) dibilang atau disangka pintar oleh seorang dosen kawakan rasanya "sesuatu banget". Rasanya saya hampir mencapai puncak tangga teratas hirarki kebutuhan manusia (cuma hampir, lalu terpeleset lagi ke bawah); aktualisasi diri. Pengakuan.

Dengan adanya sangkaan bahwa saya termasuk pintar tadi, semakin absurd definisi "pintar" itu sendiri bagi saya.

...

Pernah saya bertanya pada diri sendiri;

"Apa iya, saya ini memang pintar?"

Entah. Saya sebenarnya tidak pernah merasa pintar. Malah cenderung minder. Waktu saya masih sekolah dasar, matematika saya sangat jelek. Parah. Langganan dapat "kursi" dan "bebek". Pernah juga dapat nilai "telur". Sering di hukum berdiri di depan gara gara tidak mengerjakan PR. Waktu SMP pun begitu. Sejak saat itu saya sempat beranggapan bahwa orang pintar itu, yang nilai matematika, fisika, dan kimia nya bagus. Orang pintar itu yang pintar hitung-hitungan. Meskipun lama-lama persepsi sempit saya itu terkikis, tetapi makna pintar itu masih tetap tidak jelas. Apalagi setelah saya tahu hasil test IQ pada saat saya SMA. Dari hasil test IQ untuk pemilihan jurusan itu, ternyata IQ saya rata-rata. Saya lupa jumlahnya. Tapi yang jelas hasilnya sangat rata-rata. Kurang sedikit saja, bisa di bawah rata-rata. Sementara saya lihat teman saya yang malas, nilai biasa saja, kadang juga PR nyontek saya, skor nya malah termasuk kategori superior. Jadilah saya sedikit down pada waktu itu. Sampai-sampai Ayah saya merobek dan membuang hasil test IQ itu agar saya tidak tertekan dan semakin minder (rasanya terharu juga kalau mengingat momen itu).

...

Tragedi skor test IQ sudah lama lewat. Saya kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Saya mahasiswi biasa. Tidak menonjol di kelas. Tidak aktif di organisasi apapun. Tidak populer di antara teman-teman plus IP naik turun tiap semester dan IPK pas-pas an (yang penting ada angka 3 di depan, untuk modal melamar ke perusahaan :p ). Kalau dosen saya tahu hal-hal tersebut, apakah beliau masih akan mengira saya pintar? Kalaupun iya, mungkin beliau hanya mengejek saya dengan halus.

...

Baru-baru ini, ada lagi yang bilang saya pintar. Dan penyampaiannya lebih meyakinkan daripada dosen sebelumnya yang kemungkinan salah sangka dan salah orang. Bahkan bukan sebuah pertanyaan tetapi pernyataan. Beliau juga dosen saya. Termasuk dalam daftar dosen "top class" di jurusan saya. Kejadiannya pada saat sidang skripsi dan ujian kompre waktu itu. Ketika saya selesai menjelaskan isi skripsi saya, kemudian beliau bertanya;

"IPK kamu berapa?" sambil membolak-balik berkas ujian saya.

"3,08 Pak". Jawab saya singkat.

"IPK kamu kok kecil sih, padahal menurut saya kamu ini pinter lo,"

"Eh? Beneran Pak?" Lagi-lagi saya cuma bisa berlagak pilon.

"Iya, betul. Saya tidak pernah salah menilai orang. Keliatan dari cara bicara kamu". Jawabnya serius.

Seketika itu juga tiba-tiba saya jadi emosional. Terharu pada waktu itu. Dan itu di luar kendali saya. Saya bukan orang yang ekspresif dan saya jarang menunjukkan emosi, terlebih lagi di depan orang yang tidak saya kenal baik. Malah banyak yang bilang saya cenderung dingin dan tidak peka. Tapi entah kenapa ketika keluar pernyataan seperti itu, mata saya malah berkaca-kaca. Bukan karena takut menghadapi dosen penguji yang killer semua. Murni terharu.

Mungkin kalian akan menganggap saya berlebihan. Saya sendiri juga tidak ingin seperti itu, lebih-lebih di depan penguji. Malu sekali. Tetapi semua terjadi begitu saja, out of my control. Saat itu juga saya benar benar berada di anak tangga teratas hirarki kebutuhan manusia. Bukan hanya "hampir" seperti sebelumnya, tetapi sudah benar-benar berada di puncak, meskipun apa yang saya rasakan itu cenderung impulsif dan tidak berdasar. Maklum, namanya saja lagi emosional.

...

Kendati demikian, pernyataan dosen saya itu tidak lantas membuat saya mengerti makna pintar yang sebenarnya. Karena toh, pernyataan tadi pun tidak mengubah IPK saya jadi cum laude. Saya masih tetap mahasiswi biasa. Sampai sekarang saya lulus pun, saya masih orang biasa. Masih belum bisa menjawab pertanyaan; "apakah saya memang pintar?" Mau berlagak sombong dengan terang-terangan menjawab; "iya, aku memang pintar kok" pun rasanya masih pikir-pikir. Mau merendah pun, rasanya tidak enak.

Saya tetap tidak tahu. Sampai sekarang pun, ketika saya menulis entry ini, tetap saja saya belum menemukan standar pintar itu apa dan bagaimana. Entah mungkin saya yang kurang riset mengenai definisi "pintar" atau  memang jangan-jangan tidak ada definisi yang pasti mengenai hal itu.

...

Terlepas dari definisi  yang ada di dalam kamus besar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Prancis, dan semua kamus bahasa-bahasa dunia lainnya bagi saya pintar itu relatif dan cenderung absurd. Kata dosen saya, beliau menilai seperti itu dari cara  bicara saya (padahal saya dikenal paling tidak pandai merangkai kata untuk bicara).

Berarti pintar itu orang yang pandai bicara dong?

Maka dari itulah, mengapa pintar saya katakan relatif dan kadang absurd. Orang "pintar" di dunia ini banyak. Pintar matematika, pintar sejarah, pintar bicara, pintar mengambil hati orang, pintar masak, pintar nipu, pintar korupsi, dan banyak pintar-pintar lainnya. Pintar tidak melulu soal akademik. Kalau pintar memang hanya soal akademik berarti "pintar" ada standarnya, kan?

Jangan terlalu bangga disebut orang pintar, kalau belum tahu, anda itu pintar apa. Lagipula tidak seharusnya pintar itu di deklarasikan.

...

Apa yang saya tulis ini pasti absurd menurut kalian. Maaf ya mungkin terkesan tidak bertanggung jawab, tetapi saya sendiri saja juga tidak begitu mengerti arah tulisan ini kok..hehehe. Bukan maksud saya sok sok menunjukkan secara implisit kalau "saya ini pintar lo". Sumpah, saya bukan orang pintar. Jangan pedulikan perkataan dosen-dosen saya sebelumnya. Beneran, saya ini biasa-biasa saja. Di sini, Saya hanya menuangkan ide yang saya punya. Daripada lama-lama mengendap di otak, sayang kan kalau ide itu menguap dan hilang? :)

...

*mengenang ujian kompre penuh hikmah sebulan yang lalu.

Sunday, December 29, 2013

BLESSING IN DISGUISED

 

Baru-baru ini saya menambahkan sebuah momen ke dalam "milestone" kehidupan saya. Momen yang bagi saya sangat kontradiktif dengan momen-momen sebelumnya dalam "milestone" tersebut. Momen yang membuat grafik milestone saya, yang sebelumnya cenderung stabil (hanya ada sedikit dinamika yang tidak mencolok) menjadi seperti grafik harga saham yang naik turun dan fluktuatif.

...

Hmm...

Momen apa sih?

...

O y, sebelumnya, bagi kalian yang sengaja atau tidak sengaja membaca tulisan ini, mungkin akan menganggap saya terlalu banyak memakai metafora-metafora, atau lebih parahnya, kalian menganggap saya penganut "vickinisasi"?

Aduh..,

Jangan pakai anggapan yang kedua dong...

Hehe..

...

Jadi sebenarnya, awal dari momen yang saya tuliskan di milestone tersebut adalah ketika saya mengikuti ujian tugas akhir (skripsi) dan pendadaran atau ujian kompre. Di kampus saya, khususnya jurusan akuntansi, tempat studi saya selama ini, ada rumor (yang saat ini saya sadari telah menjadi suatu fakta) yang mengatakan bahwa dari 10 mahasiswa yang ujian tugas akhir, 7 diantaranya biasanya tidak lulus ujian kompre dan harus mengulang bulan berikutnya. Bagi saya pada saat itu, rumor tersebut hanya mitos, meskipun memang ada beberapa teman yang harus mengulang ujian kompre untuk ke sekian kalinya. Meskipun begitu entah mengapa saya tidak pernah ambil pusing dengan hal semacam itu. Entah saya yang terlalu optimis, atau terlalu percaya diri, bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi pada saya.

...

Singkat cerita, pada akhirnya saya telah dijadwalkan untuk mengikuti sidang skripsi dan ujian kompre. Pada waktu itu 23 Desember 2013. Melihat daftar nama penguji saya pada saat itu, sempat terbersit keraguan dan rasa cemas karena saya kebagian tim penguji yang isinya dosen "top class", "well ranked" dan memakai istilah saya sendiri ; "silent killer". Silent Killer; seolah tenang, ramah, tetapi..

"jleb"!

They will stab you suddenly at the end. (maaf ya, Bapak dan Ibu penguji..mungkin istilahnya terlalu berlebihan, tetapi istilah "Top Class" dan "Well Ranked" itu bukan sinisme dari saya, kok. I Swear ^^v).

...

Tidak ada suasana tegang, perdebatan panas, bullying, tekan menekan mental, wajah-wajah judes, apalagi acara banting skripsi (karena mungkin topiknya pasaran) di ruangan itu.

Everyone seems in a goodmood, creating a nice atmosphere.

Beliau beliau yang semuanya dosen muda, duduk berhadapan dengan saya. Pertanyaan demi pertanyaan, yang diselingi intermezzo mengalir dan saya jawab sebisa mungkin. Saya merasa lancar menjawab pertanyaan pertanyaan itu (meskipun mungkin pada saat itu saya tidak tepat dalam memberikan contoh aplikatif teori yang ditanyakan dalam ujian kompre). Dan saya yakin saya akan langsung lulus saat itu juga.

...

Sampai tiba saatnya untuk skorsing. Saya diminta keluar dan menunggu keputusan dari tim penguji. Agak takut juga sih. Tetapi waktu itu saya mencoba untuk tenang dan optimis.

Dan ketika saya dipanggil lagi untuk masuk ke ruang ujian,..

Masih dengan wajah ramah dan penuh senyum, mereka mengumumkan bahwa...

Saya lulus untuk skripsi, tetapi harus mengulang untuk kompre.

"Selamat ya, setidaknya skripsimu lulus" kata salah satu penguji, sambil tersenyum dan menjabat tangan saya. Sementara saya tidak bisa berkata apa apa. Speechless dan gamang. Saya hanya bisa menjawab lirih;

"I..Iya Pak..terimakasih" (sampai-sampai mungkin si Bapak tidak bisa mendengarnya).

...

Saya pun keluar dengan membawa berita acara kelulusan yang kosong. Well, I've been suddenly stabbed. And then I realize that it wasn't a myth anymore...

Sebenarnya tidak terlalu sedih juga, karena pada hari itu, dari 16 orang yang ujian, hanya 4 atau 5 saja yang langsung lulus.

...

Still, it was so disappointed.

...

Itulah yang terjadi.

Saya tidak akan membahas mengenai mengapa di jurusan saya ada hal semacam itu, entah itu konspirasi atau budaya yang sengaja dibuat untuk menciptakan suatu image tertentu di jurusan saya. Itu urusan mereka (Yaah..meskipun sebenarnya ingin juga sih membahas itu :p).

..

Kecewa berat? Pasti.

Beberapa hari itu pikiran saya galau dan gamang.

Meskipun orangtua saya  santai santai saja dan bisa menerima, tetapi entah mengapa saya sendiri yang tidak bisa menerima kenyataan. Selama ini saya tidak pernah mengalami suatu kegagalan yang berarti, walaupun belum juga ada pencapaian atau keberhasilan yang berarti. Sepanjang catatan dalam milestone saya yang cenderung datar dan stabil, tiba tiba ada fluktuasi. Fluktuasinya tidak begitu menggembirakan. Rasanya lebih mengecewakan daripada perasaan yang bertepuk sebelah tangan..

(eh, kok jadi mellow begini sih? -_-).

...

Selama hari hari galau itu juga, saya banyak menerima nasehat nasehat dan masukan dari orangtua yang tujuannya sebenarnya untuk menghibur saya. Dan dari sana juga saya merenung, memetik hikmah dari kejadian ini.

...

Hidup ini tidak selamanya berjalan mulus dan datar datar saja. Suatu saat perubahan itu mutlak, entah itu perubahan yang memang kita buat sendiri, atau perubahan yang terjadi dengan sendirinya, di kala kita mengharapkan segala sesuatu untuk tetap sama. Ketika selama ini kita merasa hidup kita berjalan mulus mulus saja, tetapi suatu saat kita mengalami suatu kejadian yang mengecewakan, seperti kehilangan atau kegagalan, itu berarti Tuhan sedang mengajari kita, bagaimana menghadapi ujian-ujian hidup di masa yang akan datang, yang mungkin akan lebih berat daripada yang kita alami sekarang. Bukankah ujian itu bertahap sesuai tingkatan kita, dan Tuhan tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan kita.

...

Terkadang Tuhan "memaksa" kita untuk keluar dari zona nyaman yang kita diami selama ini untuk membuat kita lebih kuat nantinya.

Sepanjang Milestone saya yang datar dan stabil selama ini adalah zona nyaman selama ini. Kemudian ada saat dimana saya mengalami kegagalan dan itu adalah saat di mana Tuhan mengeluarkan saya dari comfort zone tersebut.

Dan lagi,

Kekecewaan merupakan interval antara harapan dan kenyataan. Semakin tinggi harapan, ketika harapan itu tidak terwujud (kenyataan) maka kita akan "sakit" karena terjatuh dari "tempat tinggi". Awalnya, saya memang terlalu berharap lebih bahwa saya akan langsung lulus, dan mungkin tanpa saya sadari pada saat itu saya telah sombong.

...

Apa yang saya tulis di sini, tidak bermaksud untuk menyinggung salah satu pihak. Dan saya tidak peduli apabila ada yang menganggap tulisan saya terlalu berlebihan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman kepada kalian yang mungkin tengah mengalami kekecewaan serupa. Dan saya berharap, tulisan ini akan sedikit menghibur kalian :)

...

Setiap kekecewaan yang terjadi pada kita adalah rahmat yang tersembunyi ; Blessing in Disguise.

So, reveal the disguised one, and find the blessing :)

...

Jember, akhir Desember 2013

Friday, July 12, 2013

Filosofi

 

Alogia,

ada yang tahu artinya?

atau setidaknya, pernah denger kata 'alogia' nggak?

mungkin anda jarang mendengar istilah ini,

tapi saya yakin, orang psikologi pasti ngerti :)

 

Dan saya menemukan istilah ini secara tidak sengaja di google,

ketika browsing tentang skizofrenia.

Browsing tentang Skizofrenia? buat apa?

apakah saya skizo?

atau ada kerabat yang skizo?

atau saya mahasiswa psikologi yang sedang browsing untuk ngerjain tugas?

Bukan dua-duanya,

Saya bukan mahasiswa psikologi, saya nggak punya kerabat yang skizo, apalagi saya sendiri yang skizo,

(saya hanya orang awam yang tertarik dengan psikologi).

 

Ternyata Alogia adalah salah satu gejala Skizofrenia.

Setelah mengetahui sedikit maknanya, saya merasa inilah kata yang tepat untuk menggambarkan blog saya dan juga sedikit banyak tentang diri saya sendiri :)

 

Jadi, sebenarnya Alogia itu adalah ;

"In psychology , alogia (Greek α-, “ without ”, and λόγος, “speech” ), or poverty of speech , is a general lack of additional, unprompted content seen in normal speech "  -Wikipedia

 

Sederhananya,

Alogia adalah keadaan di mana seseorang sangat sedikit dalam berbicara, seseorang yang tidak bisa bicara banyak dan ketidak-bisaannya itu mengarah ke perilaku abnormal,

 

Hmm...

lalu apakah blog saya ini isinya cerita abnormal? dan penulisnya (saya) juga abnormal?

bukan begitu...(tapi sah-sah saja bila anda menyebut isi blog ini 'abnormal', karena itu relatif).

saya hanya mengambil secuil makna dari alogia yang kemudian saya sederhanakan dengan pemikiran saya sendiri,

 

Blog ini, beserta cerita-cerita di dalamnya,

adalah kata-kata yang tidak terucap,

akumulasi dan rangkaian kata-kata yang sulit untuk saya 'suara-kan',

 

Mengapa?

 

karena saya bukan orang yang pandai bicara dan mengungkapkan cerita-cerita,

saya 'miskin' dalam bicara,

(tapi tak berarti bisu) :)

 

M.I.F 2013 

Sunday, May 27, 2012

H.O.M.E

 

"Another summer day,Has come and gone away... In Paris and Rome, But I wanna go home...Mmmmmmmm.."(Home, by: Michael Buble) 

.... 

Home. House.secara harfiah memang semua artinya merujuk pada suatu benda fisik berupa bangunan dengan tembok, atap, pintu, dan jendela. dan dalam bahasa kita itu adalah "RUMAH". hanya "RUMAH". tetapi satu kata itu memiliki penafsiran yang beragam. bahkan mendalam. Mungkin anda juga pernah mendengar bahwa "HOME" dan "HOUSE" memiliki penafsiran yang berbeda. "HOUSE" adalah kata yang merujuk pada bentuk fisik dari rumah itu sendiri. seperti yang telah disebutkan sebelumnya. sebuah bangunan dengan tembok. atap,pintu, dan jendela. tetapi "HOME" lebih mengarah pada makna psikis dari rumah itu sendiri. Umm..yaah...memang sedikit sulit untuk mendeskripsikannya. 

 

Makna "Home" lebih cenderung kepada isi sebuah rumah. isi? apakah kursi, meja, ataupun perabot-perabot indah di rumah? ooh..tentu saja bukan! isi yang dimaksud adalah orang-orang yang ada di dalamnya. "Keluarga":). itulah mengapa dalam bahasa inggris "pulang" adalah "go home". masih sulit memaknainya? bagaimana dengan peribahasa ini; "A House is build by hand,but a home is build by heart" (semoga penulisan bahasa inggrisnya tidak salah..:S) atau kalau ingin lebih dramatis, dengarkan saja lagu dari sepenggal lirik di atas..:D 

.... 

bicara soal rumah, saya selalu tertarik dengan sesuatu yang berkaitan dengan rumah. mulai dari bentuk rumah itu sendiri, sampai dengan desain interior maupun eksteriornya. rumah dan segala tetek bengeknya selalu jadi topik menarik bagi saya. bahkan sewaktu masih SD dulu, saya bercita-cita ingin menjadi arsitek(namun akhirnya cita-cita itu pupus karena ternyata saya kelewat payah dalam matematika..hahaha..:P). namun walaupun cita-cita itu pupus, sampai saat ini rumah selalu membuat saya tertarik. apabila saya dalam perjalanan ke suatu tempat, entah itu pergi ke luar kota, atau sekedar di dalam kota bahkan di dekat-dekat rumah saya sendiri, saya selalu memperhatikan rumah-rumah yang saya temui di perjalanan. sambil memperhatikan, saya mulai berkhayal dan berpikir. ketika saya melewati rumah mungil dengan halaman yang luas, berumput rapi dan penuh tanaman saya berkhayal; "suatu saat nanti, ketika aku telah membangun kehidupanku sendiri, aku ingin punya rumah seperti ini". kemudian saya berjalan lagi, dan menemukan rumah yang lain, rumah yang berdiri megah, bertingkat, berpagar tinggi dengan pilar besar bak kastil kerajaan, khayalan yang tadi berganti lagi: "hmm..tapi tidak ada salahnya juga punya rumah model begini..". begitu seterusnya. khayalan itu terus berganti ketika saya menemukan rumah-rumah lain yang menurut saya menarik untuk dikhayalkan. tidak hanya berkhayal. saya juga selalu berpikir. atau lebih tepatnya membayangkan. ketika saya melewati rumah bergaya kuno dengan arsitektur peninggalan belanda, saya membayangkan tentang apa yang ada di dalam rumah itu. apakah semua barangnya juga kuno? apa saja ruang-ruang yang ada di dalamnya? apakah ada banyak ruang? apakah suasana di rumah itu hangat? kemudian, bagaimana rasanya apabila aku yang memiliki rumah itu? bagaimana jika aku yang tinggal di sana? apakah aku akan memiliki kamar sendiri? dan bagaimana nantinya aku akan menata kamarku? dan apakah aku punya cukup banyak ruang atau cukup luas ruang untuk menikmati waktu-waktu sendiriku? seandainya saja saya bisa jadi "invisible" dan dengan mudahnya bisa keluar-masuk untuk mengobservasi apa yang ada di dalam rumah-rumah itu. :D 

.... 

entah mengapa saya selalu antusias dan selalu berkhayal begini-begitu tentang rumah yang saya temui di jalan. saya juga tidak pernah keberatan apabila ada yang sekedar mengajak saya "muter-muter" tidak jelas atau istilahnya "cari angin". apalagi ke daerah yang belum pernah saya kunjungi. karena di sana pasti akan ada lagi rumah-rumah yang menarik hati. Dan ternyata, kebiasaan ini ada buruknya juga. kebiasaan ini terkadang membuat saya jadi kurang bersyukur dengan rumah saya sendiri. sering juga timbul dalam pikiran saya; "seandainya rumahku punya halaman luas berumput hijau,..seandainya rumahku megah dengan pagar tinggi yang kokoh,..seandainya juga ruang-ruang di rumahku lebih luas dan lebih banyak..." 

seandainya rumahku begini.... 

seandainya rumahku begitu... 

seandainya rumahku seperti rumahnya... 

seandainya rumah itu milikku.... 

dan "sendainya-seandainya" lain yang tidak realistis, haha..:D 

.... 

tetapi setelah kini saya hidup "sedikit" jauh dari rumah (selama ini saya tidak tinggal dirumah saya sendiri, karena saya berkuliah di luar kota yang jaraknya hanya satu jam dari kota tempat rumah saya)ada satu hal yang saya mengerti. apalagi setelah tahu betapa sedihnya apabila mereka (teman-teman kampus yang indekos jauh sekali dari kampung halamannya) mulai merasa rindu dan kemudian tiba-tiba semua yang ada di sekitarnya terasa asing, dan ketika mereka ingin bertemu dengan keluarga untuk melepas rindu,ternyata tidak bisa pulang. terlebih lagi ketika mereka ada dalam keadaan tertekan dan butuh dukungan keluarga. saya yang tinggal di rumah saudara saja terkadang masih merasa seperti itu,apalagi bagi mereka yang hanya indekos? satu hal yang akhirnya bisa saya mengerti mengenai rumah itu adalah; 

 

 "rumah bagi saya adalah "HOME" bukan "HOUSE". rumahmu adalah tempat dengan pintu yang selalu terbuka untukmu. selama apapun kamu meninggalkannya, sejauh apapun kamu pergi darinya, tempat yang selalu menunggumu pulang, dan tempat yang tidak akan pernah membuatmu merasa asing" 

 ....

 home sweet home 

rumahku, surgaku 

baiti, jannati...:) 

....

 "And I’m surrounded by A million people

 I Still feel all alone Oh, let me go home 

Oh, I miss you, you know"(Home, by: Michael Buble)